RSS
Hello! Welcome to this blog. You can replace this welcome note thru Layout->Edit Html. Hope you like this nice template converted from wordpress to blogger.

Mengenal Lebih dekat film dokumenter


Tujuan utama dari membuat film dokumenter adalah merepresentasikan kembali suatu kejadian, kisah hidup atau realita. Haya saja, dalam beberapa kasus, kita tidak bisa begitu saja bisa merekam realita tersebut. Ini disebabkan karena beberapa hal; karena kejadian tersebut sudah lewat atau terjadi di masa lalu, kejadian tersebut mengakibatkan trauma yang besar bagi para pelakunya, sehingga tidak mungkin mereka dilibatkan secara aktif dalam shooting, atau dengan menampilkan pelaku yang sesungguhnya akan mempermalukannya (serta orang-orang terdekatnya) di mata umum.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh pembuat film dokumenter? Kita mengenal pembuatan reka ulang kejadian dalam film dokumenter. Namun hal ini akan menyangkut 2 hal penting; pertama adalah apa tujuan yang ingin disasar dari penggunaan teknik ini terhadap penonton, kedua adalah bagaimana kita berlaku jujur dalam menggunakan teknik ini kepada penonton.
Umumya, kita melakukan reka ulang suatu adegan penting, pada saat adegan tersebut tidak mungkin bisa ditampilkan dengan cara yang lain. Reka ulang bisa menjadi cara yang sangat berguna dan valid untuk memicu atau menstimulus imajinasi penonton terhadap kejadian-kejadian tertentu yang relevan dalam struktur cerita di film. Ini penting dipahami! Karena film dokumenter (berbeda dengan film fiksi), selain berusaha menampilkan kejadian seperti apa adanya, kekuatannya juga terletak pada persepsi penonton bahwa apa yang disaksikannya adalah kenyataan sejatinya. Itu sebabnya kita mengenal dua istilah dalam mereka ulang kejadian; re-enacment dan reconstruction.
Re-enacment & Reconstruction
Re-enactment; biasanya berkaitan dengan adegan yang berusaha melukiskan kembali tindakan yang dilakukan oleh subyek di masa lalu. Dalam hal ini kita bisa meminta partisipan yang sesungguhnya untuk mengulang kembali (re-enacting) apa yang ia lakukan di masa lalu. Sementara reconstruction merupakan upaya untuk memproyeksikan suatu situasi di masa lalu. Jadi scene tentang perdebatan antara Sukarno-Hatta dengan para pemuda di Rengas Dengklok, kita sebut sebagai re-enactment. Sementara suasana perang puputan kita sebut sebagai reconstruction. Apabila kita membuat reka ulang adegan rapat akhir sebelum pelaksanaan pengeboman di Kuta dan minta Amrozi kembali memimpin rapat tersebut, kita sebut sebagai re-enactment. Sementara membuat adegan ulang suasana kepanikan yang terjadi pada detik-detik setelah bom meledak, kita sebut sebagai reconstruction. Salah satu cara membedakan mana re-enactment dan reconstruction adalah; yang pertama cenderung dari satu perspektif, satu sudut pandang atau POV (point of view), sementara yang kedua biasanya berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari sejumlah orang yang berada di lokasi kejadian, atau sejumlah riset yang melukiskan kejadian tersebut. Dengan kata lain, re-enactment memiliki tendensi untuk subyektif sementara reconstruction bertendensi obyektif. Namun yang perlu diingat adalah untuk keduanya, yang direka ulang adalah kejadian yang merupakan satu atau beberapa scene saja dari sebuah film. Catatan kecil dalam mengarahkan partisipan atau subyek untuk melakukan re-enactment: usahakan tidak mendorong mereka berakting akan tetapi lebih pada melakukan kegiatan untuk menampilkan kembali suasana, mood, keadaan, situasi yang pernah terjadi.
DocudramaSalah satu film docudrama yang terkenal adalah Cathy Come Home (1966) tentang kisah hidup gelandangan di London. Saat itu, penulis script-nya, Jeremy Sandford, sebenanrya mempunyai akses yang bagus untuk memfilmkan secara langsung kehidupan tokoh-tokoh gelandangan yang telah dikenalnya dengan baik. Namun kemudian ia memutuskan untuk mengganti karakter dalam filmnya dengan para aktor. Mengapa? Menurut Jeremy Sandford, pertama karena secara etika ia tidak tega kalau filmnya nanti mempermalukan para sahabat gelandangannya di mata lingkungannya. Bayangkan kalau Anda berprofesi sebagai pengemis lalu seseorang membuat film tentang kisah hidup Anda dan menayangkannya di televisi yang mungkin sekali ditonton oleh sanak-saudara dan handai-taulan di seluruh penjuru tanah air? Kedua, menurut Jeremy, akan ada banyak suasana dan situasi aslinya yang tidak mungkin ditampilkan dalam bentuk dokumenter. Yang pasti kamera tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumah penampungan para gelandangan. Alasan lain yang juga relevan adalah, menurut Jeremy, format dokumenter memang mampu mengungkap banyak ekspresi emosional, namun kelemahannya adalah ekspresi emosional ini sulit dipertahankan secara konsisten sepanjang film. Penggunaan aktor dan skenario akan bisa mengatasi problematika ini.
Lalu apa bedanya docudrama dengan film fiksi apabila diperakan oleh aktor dan menggunakan skenario? Bedanya jelas sekali. Dalam docudrama, pembuat film harus setia betul terhadap realita yang ditemukannya di lapangan dan sewaktu melakukan riset. Ia tidak berhak menambahkan cerita dengan imajinasinya. Bahkan skenarionya juga ditulis berdasarkan dialog yang terjadi sesungguhnya. Berbeda dengan film seperti Gie yang dibuat oleh Riri Riza. Film Gie memang mengkisahkan tokoh yang nyata dan berdasarkan catatan harian dari Soe Hok Gie sendiri, akan tetapi karena berbagai macam pertimbangan, pembuat film boleh memasukan imajinasinya ke dalam cerita dan penokohan dalam film. Itu sebabnya Gie menjadi film fiksi yang berdasarkan kisah nyata, bukan docudrama. Salah satu contoh film docudrama yang sering dijadikan acuan adalah Death of A Princess (1980). Film ini intinya menceritakan kehidupan di dalam istana bangsawan kerajaan di Arab, termasuk penyimpangan seksual di kalangan mereka. Bayangkan, keluarga bangsawan mana yang mau kebobrokan dalam rumah tangganya diekspos ke publik? Itu sebabnya Anthony Thomas, sang pemuat film, kemudian memilih bentuk docudrama.
Salah satu contoh film docudrama yang lain adalah The Thin Blue Line (1988). Untuk membuat film ini, Erroll Morris melakukan riset terhadap seluruh catatan pemeriksaan polisi dan catatan jalannya pengadilan terhadap Randall Adams yang dijatuhi hukuman mati karena membunuh polisi beberapa tahun sebelumnya. Film ini kemudian menggunakan aktor-aktor dalam mendeskripsikan kembali jalannya persidangan serta berbagai catatan pemeriksaan polisi terhadap tertuduh dan para saksi secara detail. Setiap bagiannya digarap seperti halnya penggarapan sebuah film cerita. Namun semua dialog dalam script secara kata per kata, setia mengikuti catatan yang menjadi sumber re-enactment dan reconstruction dalam film tersebut. Bahkan seting pengambilan gambarnya di lokasi di mana kejadian aslinya berlangsung, termasuk dalam ruang persidangannya
Menggunakan Teknik Secara Efektif
Nah, baik re-enactment, reconstruction maupun docudrama, hanya merupakan merupakan teknik yang bisa kita manfaatkan untuk tujuan tertentu. Yang terpenting adalah alasan mengapa kita perlu menggunakan teknik-teknik tersebut dan ini berkaitan dengan persepsi apa yang hendak kita bentuk di kepala penonton. Jadi semua bermula dari sebuah scene yang kita rencanakan sebagai bagian dari film kita. Persoalan pertama adalah apa yang hendak kita capai lewat scene tersebut? Misalnya, kita hendak membuat penonton tersentuh dengan kenyataan bahwa kebinatangan almarhum Robot Gedek yang gemar menyodomi dan membunuh anak-anak kecil ternyata disebabkan karena trauma yang dialaminya sendiri sewaktu kecil; yaitu kerap disodomi oleh ayahnya sendiri. Apa yang harus kita lakukan terhadap scene tersebut? Jelas kita memiliki shot interview almarhum Robot Gedek yang dengan mata berkaca-kaca dan suara bergetar menceritakan bagaimana sewaktu umur belia kerap disodomi ayahnya. Kita juga bisa menggunakan aktor untuk membuat re-enactment anak kecil yang sedang disodomi ayahnya. Apa yang akan kita pilih? Menurut saya, kita harus kembali kepada tujuan dari scene tersebut. Kalau scene tersebut adalah untuk membuat penonton tersentuh dan menaruh simpati kepada almarhum Robot Gedek, maka menurut saya, close up interview Robot Gedek akan memiliki kekuatan yang lebih besar ketimbang kita tampilkan dalam bentuk re-enactment. Seorang Robot Gedek yang asli menuturkan kisah tersebut dengan mata berkaca-kaca dan suara bergetar, akan lebih emosional di hadapan penonton, ketimbang aktor memerankan Robot Gedek kecil sedang disodomi aktor lain yang memerankan ayahnya. Pertama karena ungkapan emosional lebih dekat dengan eskpresi ketimbang perilaku. Kedua, secara sadar penonton tahu kalau adegan re-enactment tadi bukan diperankan oleh almarhum Robot Gedek yang asli.
Pada kasus lain, film kita ingin menggambarkan tegangnya suasana debat yang terjadi antara kelompok pemuda dengan Sukarno-Hatta sewaktu berada di Rengas Dengklok pada detik-detik menjelang proklamasi. Ada beberapa teknik yang mungkin bisa kita gunakan. Pertama adalah talking head dari salah seorang yang hadir pada pertemuan tersebut menceritakan kembali situasi dan suasana yang terjadi. Kedua secara visual kita bisa menampilkan catatan otentik atau buku yang melukiskan kembali suasana pada saat itu, yaitu dengan memberikan highlight pada beberapa kata/kalimat/paragraf yang secara dramatis melukiskan ketegangan yang terjadi. Atau kita coba membuat re-enactment dari kejadian tersebut.
Tapi hati-hati dengan re-enactment! Wajah Sukarno dan Hatta adalah citra yang sudah melekat kuat di pikiran banyak penonton Indonesia. Kalau aktor yang kita pilih tidak mewakili wujud fisik dan bahasa tubuh dari tokoh besar tersebut, akan menyulitkan penonton untuk mengidentifikasi citra yang sudah ada di kepala mereka masing-masing. Maka, tujuan untuk merepresentasikan realitas (betapa tegangnya suasana saat itu) menjadi gagal, semata karena penonton merasa bahwa ini hanya sebatas reka-reka semata yang tidak mewakili realitas tersebut. Logikanya adalah ketegangan bisa dibangun di kepala penonton kalau adegan tersebut bisa dipercaya. Bagaimana penonton bisa terhanyut kalau jelas-jelas tokoh Sukarno wajahnya tidak mirip?
Sementara di lain pihak untuk mencari aktor yang wajahnya mirip dan mampu berakting seperti bapak bangsa kita ini, menuntut biaya yang tidak sedikit. Belum lagi biaya untuk membangun set yang sesuai dengan kondisi saat itu, serta sekian banyak figuran pemuda yang hadir. Bagaimana mengatasi kendala seperti ini? Salah satunya adalah (dengan kembali berpedoman bahwa re-enactment dilakukan sebagai upaya memunculkan kesan tegang di kepala penonton); mengkombinasikan semua sumber yang kita miliki, baik itu talking head saksi sejarah, sumber-sumber tertulis yang otentik dibantu re-enactment yang mampu menyampaikan ekspresi visual yang betul-betul menghadirkan ketegangan. Misalnya re-enactment yang dilakukan bukanlah gambar yang berukuran lebar. Saat saksi sejarah bertutur bagaimana marahnya Sukarno sewaktu dipojokkan, secara visual kita bisa memunculkan medium close-up tangan menggebrak meja yang membuat buku dan lampu sentir yang ada di atasnya bergetar, cut to close-up tangan lain bergerak ke arah pinggang meraih pistol yang terselip di antara baju dan celana, cut to wajah salah seorang pemuda yang menjadi notulen tampak ketakutan, lalu pan down ke tangannya yang gemetar terus mencoba menuliskan notulensi rapat. Saat lewat kalimat yang di-highlight dari sebuah catatan harian, mendeskripsikan betapa kata-kata sejuk dan bijak dari Hatta mampu menenangkan kemarahan para pemuda, visual cut to gerak tangan yang relaks, cut to overshoulder aktor yang bagian belakang kepalanya mirip Hatta sedang bicara dengan latar para pemuda yang mengangguk-angguk setuju.
Penggunaan close-up/extreme close-up gerak tubuh, ekspresi bagian dari wajah, berbagai benda yang menjadi properti, bisa menjadi simbol-simbol dari suasana seperti apa yang ingin kita sampaikan ke penonton. Ini tentunya bisa menghemat biaya, tetapi penggunaannya yang cerdik akan berdampak maksimal. Singkat kata, pada saat menggunakan teknik re-enactment maupun rekonstruksi, yang terpenting adalah kita tetapkan dulu apa yang hendak kita capai dari scene tersebut. Peran teknik semata hanya bagaimana kita mencapainya. Jangan pernah menggunakan teknik karena alasan untuk memenuhi durasi yang tersedia. Kalau itu terjadi, usaha dan biaya yang Anda keluarkan tidak akan memberikan manfaat apa-apa terhadap film.
Hubungan dengan Penonton
Pertanyaan yang kerap muncul berikutnya berkaitan dengan ketiga teknik di atas adalah seperti apa aturan yang harus digunakan oleh pembuat film dokumenter dalam menampilkan re-enactment dan reconstruction? Masalahnya, hal ini lebih dari sekedar aturan boleh-tidak. Ini menyangkut etika. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama yang harus disadari adalah film kita berkomunikasi kepada penonton. Kedua, persepsi penonton sewaktu menyaksikan tayangan dokumenter adalah menyimak kenyataan. Jadi kita harus menghargai persepsi tersebut. Implikasinya adalah, kita harus menjelaskan ke penonton mana yang merupakan materi dokumentasi asli dan mana yang dibuat-buat.
Kembali pada fungsi re-enactment dan reconstruction, yaitu untuk memicu atau menstimulus imajinasi penonton terhadap fakta penting dalam film yang tidak kita miliki materi dokumentasi aslinya. Apabila penggunaan teknik tersebut berpontensi menimbulkan interpretasi lain terhadap penonton atau penonton bisa saja beranggapan adegan tersebut adalah yang sesungguhnya, maka kita perlu menjelaskannya dalam bentuk caption atau voice over. Ini memang merupakan hal yang dilematis. Di satu sisi, kita harus menggunakan bahasa gambar yang realistik guna menimbulkan kesan dramatis, di lain pihak kita tidak boleh membangun asumsi kalau adegan tersebut adalah yang sesungguhnya. Di satu sisi kita ingin menginspirasi penonton dengan memancing emosinya, di sisi lain kita tidak boleh membohongi penonton. Tantangannya menjadi besar bagi pembuat film, bagaimana meraih kedua-duanya secara bersamaan; menampilkan adegan yang sangat realistis sekaligus mengingatkan penonton bahwa adegan tersebut bukanlah yang sesungguhnya.
Ada beberapa pembuat film docudrama yang lebih setuju bisa sejak awal pertama film mulai penonton diinformasikan bahwa semua adegan yang akan disaksikan merupakan reka-ulang yang diperankan oleh aktor. Atau menampilkan caption sepanjang adegan yang dibuat secara reka-ulang. Untuk beberapa kasus yang menyangkut reka-ulang sejarah di masa yang sangat silam, ada beberapa cara lain yang bisa mengakomodasi aspek estetis, sekaligus mencakup aspek etikanya. Pertama adalah kita harus menyadari kalau penonton kita bukanlah orang bodoh. Film yang membuat reka-ulang kehidupan dinosaurus di jaman Jurasic atau kisah hidup Ramses sang Raja Firaun II, tentunya tidak memerlukan caption. Reka ulang adegan rapat Kongres Pemuda ke-2 di Jalan Kramat Raya, Senen apabila ditampilkan dalam format film berwarna, tentunya juga tidak memerlukan caption. Yang konyolnya (saya juga pernah melakukannya), kita sering menyaksikan film yang menampilkan adegan reka-ulang di masa lalu yang dibuat menjadi hitam putih lengkap dengan efek jitter, flek-flek pada film selluloid dan exposure yang turun naik, lalu ditambahkan caption RE-ENACTMENT. Apa yang hendak dicapai oleh sang pembuat film?
Kata reka-ulang sendiri mencerminkan bagaimana kejadian di masa lalu sejatinya tidak mungkin bisa diulang persis seperti aslinya, meskipun dilakukan oleh pelaku asliya sekalipun. Hal ini berkaitan dengan 2 hal. Pertama pasti ada proses penambahan dan proses penghilangan oleh pelaku itu sendiri, baik secara sengaja maupun tidak. Secara sengaja karena ada beberapa hal yang dirasa pelaku tidak perlu ditampilkan kembali karena hal tersebut remeh atau tidak penting. Secara tidak sengaja karena hal tersebut dilupakan oleh pelaku. Penambahan bisa terjadi karena ingatan pelaku telah tercampur aduk dengan kejadian-kejadian yang berlangsung dalam hidupnya sebelum dan setelah kejadian yang sedang diproyeksikan tersebut.

0 komentar:

 
Copyright 2009 P E N C I L 2B Production's. All rights reserved.
Free WordPress Themes Presented by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy
This template is brought to you by : allblogtools.com | Blogger Templates